Login / Register    » RSS GEMA Feed

Sejarah Lagu "Mari Barangsiapa Mau"

admin's picture

Syair : Whosoever Will May Come, "philip P. Bliss, 1869. Wahyu 22:17.
Lagu : WHOSOEVER, Philip P. Bliss, 1869.

Pada umur sepuluh tahun, Philip P. Bliss belum pernah melihat sebuah piano.

Mungkin Saudara heran atas kalimat itu: Bukankah siapa saja telah melihat sebuah piano serta mendengar bunyinya?

Bagi penduduk kota, mungkin benar. Tetapi banyak rakyat Indonesia yang belum pernah melihat sebuah piano. Demikian juga dengan si Philip. Walaupun ia sudah mendengar ibunya bercerita tentang alat musik besar yang disebut piano, namun ia sendiri belum pernah melihatnya ataupun mendengar bunyinya.

Anak yang Miskin

Philip P. Bliss lahir pada tahun 1838 di sebuah pondok kayu, di daerah pertanian yang agak terpencil, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Keluarganya miskin sekali. Mereka bekerja keras, namun masih sering kekurangan.

Walaupun demikian, keluarga Bliss itu amat suka akan musik. Sering mereka bernyanyi bersama-sama. Pada waktu ayahnya menyadari bahwa si Philip memiliki kegemaran akan musik yang melebihi yang lainnya, ia pergi ke rawa dan memotong sebatang buluh. Dengan pisau raut ia mengukir sebuah suling kasar untuk putranya yang masih kecil.

Philip senang sekali meniup sulingnya. Ia pun mulai menyimpan uangnya yang sangat sedikit, dengan harapan bahwa pada suatu waktu kelak ia akan dapat membeli sebuah biola yang murah.

Musik yang Indah

Ketika si Philip berumur sepuluh tahun, timbullah dalam benaknya akal yang baik. la pergi sekeliling rawa-rawa dan memetik semacam murbei liar yang tumbuh di situ. Ketika keranjangnya penuh, ia pun berjalan kaki melalui jalan yang panas dan berdebu, menuju ke kota. Pakaiannya compang camping, kakinya telanjang. Kian kemari ia menyusuri lorong dan jalan kota, sambil menjajakan buah dagangannya itu. Siapa tahu, mungkin akhirnya ia akan mempunyai cukup banyak uang untuk pembeli sebuah biola.

Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti. Sayup-sayup terdengar musik yang indah sekali...musik yang belum pernah didengarnya. Apakah gerangan itu bunyi piano, alat musik besar yang telah diceritakan oleh ibunya?

Selangkah demi selangkah ia berjalan lebih dekat. Sampailah dia di serambi muka rumah sumber suara yang indah itu. Philip meletakkan keranjang buahnya di lantai. Dengan malu-malu ia pun mendekat lagi.

Pintu rumah itu kebetulan terbuka. Dengan menahan nafasnya, anak petani yang gemar akan musik itu masuk dan berdiri terpaku, mendengar not-not yang begitu indah.

Tiba-tiba wanita yang sedang memainkan piano itu melihat dia. Secara mendadak ia membanting jarinya ke atas tuts piano dengan bunyi yang keras dan janggal. Ia menatap anak laki-laki yang kotor, berpakaian jelek, yang sedang berdiri di pintunya.

Philip Bliss mengeluh dengan kerinduan: "Maaf, silakan nyonya main terus. Belum pernah kudengar musik yang seindah itu."

"Tidak!" bentak wanita itu. "Apa maksudmu, diam-diam masuk ke mari, he? Lihat, bekas kakimu mengotori serambiku. Ayo, pergi!"

Dengan sedih si Philip mengambil keranjangnya dan pergi. Seandainya diizinkan, tentu ia akan berdiri tenang di situ sepanjang hari, asal saja ia dapat mendengar terus suara piano.

Petani Merangkap Pendidik

Pada umur sebelas tahun, Philip Bliss sudah keluar dari rumah ibu bapaknya untuk mencari nafkah sendiri. Ia menjadi seorang buruh di perkebunan, lalu di kehutanan dan di penggergajian kayu.

Sekali-sekali anak yang pandai itu diberi izin pergi ke sekolah untuk sementara waktu. Kesempatan seperti itu selalu disambutnya dengan gembira, juga kalau ada kesempatan pergi ke gereja.

Pada umur duabelas tahun Philip mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Ia pun dibaptiskan atas dasar imannya itu.

Ketika ia hanya mencapai umur 18 tahun, Philip Bliss dianggap sudah cukup terpelajar, meski bersekolah secara terputus-putus, sehingga ia sanggup menerima jabatan sebagai guru sekolah desa. Tugas mengajar itu hanya selama musim salju saja; kalau dalam pergantian musim datang lagi cuaca yang baik, terpaksa dia menambah penghasilannya yang sedikit, dengan bekerja keras di ladang.

Nenek yang Baik Hati

Pada umur 20 tahun, Philip Bliss mulai berkenalan dengan seorang gadis dari sebuah keluarga di daerah pertanian tempat ia menjadi guru. Baik Lucy Young maupun keluarganya menyukai pemuda yang rajin itu. Mereka pun suka akan musik, sama seperti Philip sendiri; jadi, mereka mendorong dia untuk memperkembangkan bakatnya.

Pada tahun 1859 Philip Bliss menikah dengan Lucy Young. Selanjutnya suami yang baru berumur 21 tahun itu bekerja di perkebunan milik bapak mertuanya.

Lalu ia mendengar bahwa ada kursus musik yang ditawarkan kepada para peminat. Tempat penyelenggaraannya tidak jauh dari rumah keluarga Young dan keluarga Bliss. Tetapi soalnya, keuangan Philip Bliss masih terbatas, sehingga tak mungkin ia mendaftarkan diri untuk kursus tersebut.

Ketika ia insaf akan hal itu, Philip merasa kecewa dan kesal hati. Ia masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri pada sebuah balai-balai. Sudah nasib, seumur hidup ia hanya akan sempat menjadi seorang petani dan guru sekolah desa saja.

Kebetulan nenek istrinya melihat Philip dalam keadaan putus asa itu. Wanita yang sudah lanjut usianya itu menanyakan apa sebabnya. Ia diberitahu bahwa paling sedikit 30 dolar diperlukan, jika Philip akan memanfaatkan kesempatan yang luar biasa itu.

"Astaga, 30 dolar 'kan banyak sekali!" kata nenek itu. "Tetapi nenek punya kaus kaki bekas yang sudah lama dipakai sebagai tempat tabungan. Coba lihat, andaikan ada sebanyak 30 dolar di dalamnya ... ya, ambillah saja!"

Dengan bantuan dan dorongan yang tak diharapkan itu, Philip Bliss jadi pergi. Bukan hanya kursus musik itu saja, melainkan juga kursus-kursus lainnya yang serupa ia hadiri, sehingga kecakapannya di bidang musik semakin berkembang.

Kuda Tua dan Orgel Kecil

Pada tahun 1860 Philip Bliss sudah merasa siap memulai suatu karier baru, yaitu sebagai guru musik yang berkelana. Berkat bantuan keluarga istrinya, ia memiliki seekor kuda betina yang sudah tua, dan sebuah orgel lipat kecil yang murah. Pergilah dia berkeliling, sambil mengajar banyak murid tentang dasar seni musik.

Sementara itu, Philip Bliss masih tetap menggunakan tiap kesempatan untuk meningkatkan keahliannya sendiri. Lambat laun ia pun mulai mengarang musik. Pada tahun 1864 ia memberanikan diri mengirim sebuah lagu romantis hasil karyanya kepada sebuah penerbit besar. Permintaannya, andaikan karangan itu diterima, adalah lain daripada yang lain. Ia minta bukan uang, melainkan sebatang suling yang bagus.

Seorang redaktur menerima lagu yang disertai permohonan aneh itu. Kemudian sebatang suling memang dikirim kepada pencipta lagu tersebut. Tetapi lebih daripada itu, menyusullah suatu tawaran agar Philip Bliss menerima jabatan tetap di kantor penerbit musik itu.

Maka nama Philip P. Bliss menjadi tenar. Ia lalu mulai menggubah lagu-lagu rohani. Ia pun mulai memimpin nyanyian sidang dalam kampanye penginjilan raksasa, seperti yang diselenggarakan masa kini oleh Dr. Billy Graham dan orang-orang lain.

Philip Bliss berperawakan tinggi dan tampan. Suaranya merdu sekali. Sering dalam kampanye besar-besaran ia pun memperkenalkan kepada orang banyak sebuah nyanyian pujian yang baru saja dikarangnya sendiri.

Maka ia menjadi terkenal. Uang hasil penjualan lagu-lagunya masuk terus. Ia dengan istrinya dan anak-anak mereka dapat hidup senang. Namun Philip Bliss tidaklah mementingkan kekayaan atau kenamaan. Makin lama makin giat dia melayani Tuhan Yesus, sehingga ia menjadi salah seorang penyanyi injili yang paling disayangi oleh umat Kristen pada masanya.

Pengaruh Tujuh Khotbah

Akhir cerita yang dahsyat dari riwayat Philip dan Lucy Bliss itu diceritakan pada pasal 14 dari JILID 2 dalam seri buku ini: Kedua-duanya meninggal seketika dalam suatu kecelakaan kereta api pada tahun 1876.

Sungguh menyedihkan, bahwa karier Philip Bliss terhenti pada waktu ia baru berumur 38 tahun saja. Namun ia seolah-olah masih hidup juga, melalui banyak lagu injili yang kini dinyanyikan di seluruh dunia.

Semasa hidupnya, Philip Bliss sering mendapatkan buah pikiran untuk karangannya dari bacaan Alkitab dan lukisan khotbah yang didengarnya dalam kampanye penginjilan. Misalnya, lihat saja lagu yang tertera di halaman 77. Perhatikanlah kata-kata yang ditutup dalam tanda kutip: "Barangsiapa mendengar," dan "Mari barangsiapa mau." Kata-kata itu memang dikutip dari Wahyu 22:17.

Ada juga pengaruh lainnya dalam penciptaan "Lagu bagi Siapa Saja" itu. Pada tahun 1869-1870, datang ke Amerika seorang pengkhotbah muda yang terkenal di Inggris, tanah airnya. Ia pun ingin menggantikan pengkhotbah tersohor Dwight L. Moody, selama satu minggu di kota Chicago. D. L. Moody agak segan, tetapi akhirnya ia setuju.

Anehnya, pengkhotbah muda dari Inggris itu menggunakan nas khotbah yang sama selama tujuh malam berturut-turut. Ayat yang diulang-ulanginya yaitu: Yohanes 3:16.

Tujuh khotbah yang didengar oleh banyak orang itu sangat mempengaruhi baik Dwight L. Moody maupun Philip P. Bliss. Segera terciptalah "Lagu bagi Siapa Saja," yang berkisar pada pokok yang sama seperti yang ditekankan dalam Yohanes 3:16.

Mungkin juga Philip Bliss masih ingat akan pengalamannya sendiri sewaktu ia masih kanak-kanak...ketika wanita yang kurang ramah itu mengusir dia dari rumahnya. Pemain piano yang sombong itu tidak mau menerima seorang anak kecil yang miskin, berpakaian compang camping, kakinya kotor tak bersepatu, walau anak itu membujuk dia dengan sangat agar terus memperdengarkan musik yang indah.

Alangkah bedanya Tuhan Yesus! Ia rela menyambut siapa saja yang bertobat dan percaya. Berita Baik itulah yang berkumandang terus dalam nyanyian pujian hasil karya Philip P. Bliss.

Author
: H.L. Cermat
Sumber
: Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian, Jilid 1
® Lembaga Literatur Baptis
Submitted by admin on 27 June, 2006 - 11:13

Komentar