Login / Register    » RSS GEMA Feed

Tekken

admin's picture

Apa yang bisa kita omongkan tentang film-film hasil adaptasi dari video game? Terus terang, rata-rata buruk. Kenyataannya memang sulit untuk mengadaptasi latar belakang, karakterisasi, dan jalan cerita sebuah video game ke medium lain, dalam hal ini adalah film. Kecuali mungkin jika bisa memfokuskan pada salah satu elemen tadi, ya. Bisa jadi, film tersebut bakal lebih berhasil.

Tekken versi adaptasi film ini, entah kenapa, mengambil latar belakang yang jauh berbeda dengan video game-nya. Dengan dimajukannya waktu hingga ke tahun 2039, beberapa perusahaan korporasi yang berhasil menggulingkan kekuasaan pemerintahan resmi di berbagai belahan dunia, hingga tempat tinggal Jin Kazama dan ibunya, Jun Kazama, yang bak pemukiman kumuh di masa post-apocalyptic.

Latar belakang cerita dalam adaptasi film ini sebenarnya mencampuradukkan beberapa seri Tekken versi video game secara sekaligus. Jadi ada Tekken yang merupakan korporasi (dalam adaptasi film ini, disebut dengan istilah Iron Fist) di bawah kepemimpinan Heihachi Mishima. Dengan diwakili oleh anaknya, Kazuya Mishima, yang lebih mengendalikan sisi kekuatan militer dari Tekken, Jackhammer.

Sekali dalam setahun, masing-masing Iron Fist mengirimkan wakilnya untuk bertarung secara fisik dalam The King of Iron Fist Tournament. Di awal film, diperkenalkan 10 petarung yang datang dari berbagai Iron Fist. Ada Marshall Law, Christie Monteiro, Bryan Fury, Nina Williams, Anna Williams, Raven, Eddy Gordo, Yoshimitsu, Sergei Dragunov, dan Miguel Rojo.

Jin, di versi adaptasi film ini, awalnya hanya seorang maling yang lihai ber-parkour untuk mendapatkan barang pesanan pihak yang menyewanya. Ironisnya, barang terakhir yang dicurinya berasal dari dalam Tekken. Kazuya yang tidak tedeng aling-aling langsung membombardir rumah Jin yang berhasil dilacaknya sebagai sang maling. Tewaslah sang ibunda yang tidak tahu apa-apa.

Dengan dendam membara, Jin yang sebelumnya melihat sepasukan Jackhammer di dalam rumahnya, mengajukan diri sebagai calon peserta The King of Iron Fist Tournament demi mengejar pembunuh ibunya di dalam Tekken, yang bertindak sebagai penyelenggara turnamen tersebut. Berhasilkan Jin menemukan sang pembunuh dan membalaskan dendam ibunya? Yah, tonton saja kalau penasaran.

Selanjutnya ke elemen berikutnya, karakterisasi. Jin memang merupakan fokus utama di versi adaptasi film, itu langkah yang bagus. Pemilihan Jon Foo dengan karakterisasi fisiknya yang mirip Jin juga patut diacungi jempol. Sayangnya aliran bela diri yang dikuasai Foo adalah Wushu, yang bisa dibilang lumayan berbeda dengan karate, aliran bela diri yang dipergunakan oleh Jin versi video game-nya.

Jun Kazama diperani oleh Tamlyn Tomita, aktris peranakan Jepang yang lumayan lama malang melintang di jagad perfilman Amerika. Cukup cocok sebagai Jun, walau kurang diperlihatkan kecintaannya pada alam natural dan keahliannya dalam melakukan bela diri aliran Kazama. Namun dalam beberapa flashback, Jin selalu mengingat ibunya yang selalu melatih Jin di alam terbuka hingga tumbuh dewasa.

Marshall Law sebagai lawan pertama Jin, diperani oleh Cung Le. Menurut KotGa, penampilan Le lebih mirip Bolo Yeung dibanding Bruce Lee. Pun keahlian bela diri yang didalaminya adalah Mixed Martial Art, bukan Jeet Kune Do. Sejak melihat Le sebagai Marshall, KotGa jadi mempersiapkan mental untuk melihat petarung-petarung lainnya. Rata-rata aktor/aktris kurang cocok dengan karakter yang diperani.

Namun ada beberapa perkecualian yang KotGa temukan. Misalnya pada Lateef Crowder yang memerani Eddy Gordo. Crowder memang sejatinya adalah praktisi Capoeira di kehidupan nyata. Sayangnya peran Eddy hanya sebentar saja. Serta Gary Daniels yang memerani Bryan Fury. Daniels adalah kickboxer veteran yang tentu saja pas banget untuk di-casting sebagai Bryan.

Oh, ya. Jangan kaget melihat karakterisasi Heihachi Mishima, Kazuya Mishima, dan Steve Fox. KotGa tidak mau memberikan spoiler. Namun baiknya persiapkan mental Kotakers saat akhirnya mereka muncul dan menunjukkan 'kebisaan' atau keberpihakan mereka terhadap Jin. Rasanya lumayan bertolak belakang dengan versi video game-nya yang sudah familiar bagi kita bersama.

Lalu yang terakhir, jalan cerita. Jalan cerita? Ada, ya? Haha, kalau mau jujur dibilang, film-film seperti Tekken versi adaptasi film ini lebih masuk untuk dikategorikan ke kelas B-Movie. Lebih ke sederetan adegan-adegan yang flashy, fan service dari para aktris, serta aksi laga yang meningkatkan adrenalin penonton. Contoh terbaik dari B-Movie yang 'lumayan' berkualitas adalah Bloodsport & American Ninja.

Pada pokoknya, B-Movie menomorbelakangkan jalan cerita. Yang dikedepankan adalah aksi-aksi laga. Dari situ, KotGa berhasil menyimpulkan sesuatu. Akhirnya, setelah sekian lama termangu di arcade salah satu bioskop terkemuka memandangi orang-orang yang asyik memainkan Tekken 6: Blood Rebellion, KotGa mendapatkan pencerahan.

Tekken versi adaptasi film lebih masuk dan mudah diterima oleh penonton yang tidak berekspektasi apa-apa, tidak mengenal seri Tekken sebagai video game, dan penikmat B-Movie. Hmm, ada yang merasa begitu? Monggo, pergilah ke bioskop dan tonton filmnya. Namun jika tidak, KotGa cuma bisa menghimbau untuk bisa menganjlokkan ekspektasi Kotakers ke tingkat serendah-rendahnya supaya bisa lebih enjoy.

Submitted by admin on 31 August, 2010 - 15:19

Komentar