Login / Register    » RSS GEMA Feed

Sejarah Lagu "Hari Nan Bahagia"

admin's picture
Author
: H.L. Cermat
Sumber
: Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian, Jilid 3
® Lembaga Literatur Baptis

Syair : O Happy Day! Phialip Doddridge, 1755; koor, tak dikenal (dengan perubahan seperlunya).
Lagu : HAPPY DAY, Amerika, tak dikenal, 1854. 2 Tawarikh 15:14-15.

Tidak ada nyanyian pujian umat Kristen yang lebih memancarkan rasa gembira, daripada lagu rohani yang dikisahkan dalam pasal ini. Sering lagu itu terdengar di gereja pada saat-saat yang menggembirakan, bila ada orang yang baru percaya kepada Tuhan Yesus, atau bila ada orang yang baru bersaksi tentang kepercayaannya itu melalui upacara baptisan. Maka tidaklah mengherankan bila kita membaca bahwa pengarang "Lagu Kegembiraan Kristen" itu pernah disifatkan oleh salah seorang sahabatnya sebagai: "orang yang paling gembira yang saya kenal".

Dalam sebuah surat kepada istrinya, pengarang lagu rohani ini pernah menulis: "Karena saya merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup saya, maka saya gembira membaca, gembira mengarang, gembira bercakap- cakap dengan teman-teman di rumah, gembira menengok orang miskin dan orang sakit, gembira mengabarkan Injil, gembira sepanjang minggu karena saat kebaktian semakin dekat, dan gembira sepanjang waktu karena saat masuk surga semakin dekat."

Siapakah orang yang bersifat gembira itu, yang mengarang "Lagu Kegembiraan Kristen"?

Anak Yatim Piatu yang Miskin

Philip Doddridge dilahirkan di London, ibu kota Inggris, pada tahun 1702. Hampir-hampir riwayat hidupnya tamat pada hari kelahirannya. Sebanyak delapan belas dari sembilan belas kakaknya meninggal dalam usia masih muda. Rupa-rupanya si bungsu juga akan mati di tempat buaiannya, sebagai bayi yang baru lahir. Tetapi seorang pembantu rumah tangga memperhatikan bahwa masih ada sedikit napas terkandung dalam tubuh yang kecil itu, maka si Philip dirawat dengan kasih sayang sampai akhirnya tumbuh menjadi kuat.

Ayahnya seorang pedagang minyak. Ibunya suka menceritakan isi Kitab Suci kepada Philip, dengan bantuan tegel-tegel kuno buatan Belanda di sisi tempat perapian, yang menggambarkan cerita-cerita Alkitab itu. Anak itu menjadi biasa melihat gambar-gambar Hawa ditipu oleh ular, Nabi Nuh dan bahtera, Nabi Yunus dan ikan besar, dan Rasul Petrus berlayar di Danau Galilea.

Ibunya juga suka bercerita tentang kedua kakek Philip Doddridge, yang dulu rela menderita demi kebebasan beragama. Salah seorang di antara mereka bahkan pernah mengungsi dari negeri Cekoslowakia dengan hanya membawa serta pakaian yang melekat pada tubuhnya, sedikit uang yang disembunyikan dalam ikat pinggangnya, dan . . . Alkitabnya terjemahan Martin Luther. (Lihatlah pasal 2 dari buku ini.)

Sayang, baik ayah maupun ibu Philip Doddridge meninggal pada waktu anak itu baru berumur tiga belas tahun. Seorang sahabat orang tuanya berusaha mengurus warisan si Philip dengan jalan menanamkan modal baginya. Tetapi cara-cara pengurusannya begitu kurang bijaksana, sehingga pada umur lima belas tahun Philip Doddridge sudah menjadi miskin papa, selain menjadi anak yatim piatu.

Philip sangat menyesal ketika ia terpaksa keluar dari sekolah, karena ia seorang pelajar yang rajin dan pandai. Seorang bangsawan wanita merasa kasihan kepadanya, dan menawarkan ongkos kuliah di sebuah universitas besar yang ternama. Tetapi untuk dapat diterima di universitas itu, Philip Doddridge harus memasuki dulu gereja negara, yakni Gereja Inggris, sedangkan ia masih tetap bertekad mengikuti jejak nenek moyangnya yang membela kebebasan beragama.

Akhirnya pada umur tujuh belas tahun pemuda yang tinggi dan kurus perawakannya itu dapat mulai berkuliah juga, di sebuah sekolah tinggi Kristen yang disponsori oleh gereja-gereja yang bebas dari campuran politik negara. Setelah tamat pada umur 21 tahun, Philip Doddridge langsung menjadi pendeta sebuah gereja yang kecil.

Sambil menggembalakan jemaat itu, ia pun terus menuntut ilmu, sehingga pada umur yang masih muda ia sudah diakui sebagai salah seorang sarjana Kristen yang paling terpelajar di seluruh Inggris. Ia baru berusia 34 tahun ketika ia digelari Doktor Divinitas honoris causa.

Hamba Tuhan yang Sangat Sibuk

Selama 28 tahun Dr. Doddridge menjadi seorang gembala sidang, mula- mula di desa dan kemudian di kota Northampton. Selama 22 tahun ia pun merangkap sebagai kepala sebuah sekolah tinggi teologia. Lebih dari dua ratus calon pendeta pernah berguru kepadanya.

Ternyata dalam hal pelayanan sosial Philip Doddridge lebih maju daripada kebanyakan umat Kristen pada zamannya. Ia mencari sokongan untuk para janda, putra, dan putri dari hamba-hamba Tuhan yang sudah meninggal. Ia mendirikan sebuah asrama dan sebuah sekolah; ada sebanyak dua puluh anak laki-laki dari rakyat miskin yang ditampung tanpa membayar. Ia memperjuangkan hak orang-orang yang dipenjarakan. Ia mempromosikan suntikan untuk mencegah penyakit cacar, walau kebanyakan orang semasanya masih was-was atau bahkan melawan usaha itu. Dan ia pun menolong mendirikan sebuah rumah sakit gaya baru di kota Northampton.

Dr. Doddridge juga menyokong pengabaran Injil sedunia, bahkan setengah abad sebelum kebanyakan badan-badan zending didirikan. Khususnya ia berminat pada para utusan Injil yang pergi melayani suku- suku Indian di benua Amerika Utara.

Walau ia tetap berpegang pada keyakinannya sendiri, namun Philip Doddridge pun berjiwa oikumene. Teman-temannya banyak, baik di gereja negara maupun di berbagai-bagai aliran lain. Sering ia berkhotbah di gereja-gereja yang tidak sepaham dengan jemaatnya sendiri, atau meminjamkan gedung gerejanya kepada para penganut denominasi lain.

Kerajinan dan ketekunan Dr. Doddridge memang luar biasa. Pada saat ia bercukur dan membereskan pakaiannya di pagi hari, ia biasa menyuruh salah seorang muridnya membacakan buku kepadanya. Pada saat ia menunggang kuda untuk bepergian, ia membawa serta sebuah naskah untuk diperiksa dalam perjalanannya.

Entah bagaimana, pendeta yang begitu sibuk ini masih dapat menyisihkan sebagian waktunya untuk mengarang. Semasa hidupnya ada sebanyak 53 buku hasil karyanya yang diterbitkan. Salah satu karangannya itu adalah sebuah tafsiran Alkitab dalam enam jilid, yang dimaksudkan untuk dipakai dalam rumah tangga orang Kristen biasa. Satu lagi bukunya berjudul: Munculnya dan Berkembangnya Agama Dalam Jiwa. Buku itu tetap disukai oleh banyak orang Kristen selama satu abad lebih.

Buku-buku karangan Dr. Doddridge biasanya dicetak beratus-ratus ribu, dan diterjemahkan paling sedikit ke dalam lima bahasa asing. Adapun surat-surat dan buku-buku harian Philip Doddridge pernah diterbitkan dalam lima jilid, bahkan 80 tahun setelah ia meninggal!

Alat Pembantu Ingatan Sehabis Khotbah

Dalam hidupnya yang begitu dipenuhi dengan berbagai-bagai usaha yang terpuji, masih adakah sisa waktu yang dapat dipakai oleh Philip Doddridge untuk mengarang lagu-lagu rohani?

Masih ada. Minggu demi minggu, pada saat ia menyiapkan khotbahnya, ia pun suka mengarang sebuah syair rohani yang baru. Ia sengaja mengambil nas atau tema khotbah sebagai pokoknya, agar syair itu dapat dipakai sebagai alat pembantu ingatan para pendengarnya. Syair-syair itu semuanya diterapkan pada lagu-lagu gerejawi yang sudah dikenal. Maka pemimpin nyanyian hanya tinggal membacakan naskah syairnya baris demi baris sehabis khotbah, dan seluruh sidang pasti dapat segera menyanyikan lagu rohani yang baru itu.

Pdt. Doddridge sendiri tidak membuang banyak waktu dengan puisi hasil karyanya. Ia tidak menyalinnya, atau mengumpulkannya, ataupun memperbaikinya. Bahkan ia sering mencoret baris-baris yang bersanjak itu dengan memakai semacam tulisan steno cepat, yang sulit dibaca orang lain.

Walau dengan cara yang begitu tergesa-gesa, namun Philip Doddridge sanggup menghasilkan sebanyak 397 lagu rohani. Orang-orang lain yang mencatat, meralat, dan menyusunnya. Dan ternyata ada beberapa di antaranya yang telah diakui sebagai lagu pilihan, yang hingga kini masih suka dinyanyikan oleh umat Kristen.

Sepanjang hidupnya Philip Doddridge dihalangi oleh kesehatan yang kurang sempurna. Belum sampai setengah umur, ia sudah mengidap penyakit tebese.

Pada pertengahan tahun 1751, teman-teman Pdt. Doddridge mulai kuatir kalau-kalau ia tidak akan tahan lagi menghadapi musim dingin di negeri Inggris. Maka mereka mengusahakan suatu dana khusus, agar ia dapat mengungsi ke daerah yang lebih hangat di sebelah selatan, yaitu ke Lisbon, ibu kota negeri Portugis.

Sesuai dengan sifatnya yang khas, Dr. Doddridge menyambut gagasan itu dengan gembira. "Saya dapat masuk surga sama mudahnya dari Lisbon seperti dari ruang belajar saya di Northampton!" katanya.

Betul juga ramalannya itu: Philip Doddridge meninggal di kota Lisbon, pada musim gugur tahun 1751. Umurnya baru 49 tahun.

Penciptaan Lagu Kegembiraan Kristen

Anehnya, . . . "Lagu Kegembiraan Kristen" yang disoroti dalam pasal ini, tidak tahan lama di negeri asalnya seperti beberapa lagu lainnya yang juga dikarang oleh Philip Doddridge. Satu setengah abad yang lalu, Pangeran Albert dari Inggris, suami Ratu Victoria yang terkenal, memilih "Lagu Kegembiraan Kristen" itu untuk dinyanyikan pada saat anak-anak mereka mengambil sidi sebagai anggota-anggota Gereja Inggris. Tetapi dalam tahun-tahun yang berikutnya, Lagu itu makin lama makin menghilang dari buku-buku kumpulan nyanyian gereja yang diterbitkan di negeri Inggris.

Justru di negeri-negeri lain, nyanyian pujian itu menjadi populer. Salah satu sebabnya ialah, adanya koor atau refren yang menekankan suasana kegembiraan yang sudah disinggung-singgung dalam bait-baitnya itu. Tetapi koor atau refren itu sesungguhnya merupakan tambahan orang lain, dan bukan hasil karya asli Philip Doddridge.

Edward F. Rimbault (1816-1876) adalah seorang pemain organ, komponis, pengarang, redaktur musik, dan penceramah yang sangat terkenal pada masa hidupnya. Sebuah ensiklopedia musik di negeri Inggris memuat satu halaman penuh mengenai kariernya. Universitas- universitas yang ternama, baik di Swedia maupun di Amerika Serikat, mengaruniai dia gelar doktor honoris causa. Banyak sekali gubahan musik karangannya yang diterbitkan pada abad yang kedelapan belas.

Anehnya, . . . semua musik karangan E. F. Rimbault itu sudah dilupakan, kecuali satu melodi yang sederhana saja. Pada lagu yang gembira itu ada koor atau refren yang dalam bahasa aslinya berulang- ulang mendendangkan: "Happy land! Happy land!" Di Amerika ada seorang redaktur kumpulan lagu rohani yang mengubah kata-kata itu menjadi: "Happy day! Happy day!" Lalu ia menghubungkan baik kata-kata maupun not-not itu dengan sebuah lagu rohani kuno karangan Philip Doddridge.

Maka terciptalah "Lagu Kegembiraan Kristen", sebuah lagu pilihan yang kini dinyanyikan oleh umat Kristen di seluruh dunia.

Submitted by admin on 27 June, 2006 - 10:04

Komentar